Sabtu, 18 Juli 2020

INTERNET DAN INTRANET

1. Pengertian Internet dan Intranet Buka disini
2. Persamaan dan Perbedaan Internet dan Intranet Buka disini
3. Sejarah perkembangan Internet dan Intranet Buka disini
4. Fungsi Internet dan Intranet Buka disini
5. Manfaat Internet dan Intranet Buka disini
6. Dampak Internet dan Intranet Buka disini

JARINGAN KOMPUTER

1. Pengertian Jaringan Komputer Buka disini
2. Topologi Jaringan Komputer Buka disini
3. Jenis jaringan Komputer Buka disini
4. Manfaat Jaringan Komputer Buka disini

Selasa, 31 Maret 2020

MENGENAL LAPISAN BUMI LITOSFER

Biologi Kelas 7 | Mengenal Lapisan Bumi: Litosfer




litosfer header
Artikel IPA Kelas VII kali ini akan membahas tentang pengertian litosfer yang merupakan salah satu lapisan bumi. Mau tahu penjelasannya lebih lanjut? Baca terus artikel ini ya.
---
Planet Bumi yang kita tinggali ini kalau dipikir-pikir usianya sudah cukup tua ya? Hmm….
Kira-kira kalau sudah tua, apakah kamu bisa menebak berapa usia bumi sekarang ini? Hari ulangtahunnya kapan?
Yang jelas nggak sama lho ya dengan Hari Ulang Tahun Ruangguru yang baru-baru ini disiarin di televisi.
Banyak teori-teori pembentukan tata surya yang pastinya sudah kamu pelajari kan? Apa pun teorinya, yang jelas bumi itu punya lapisan-lapisannya. Baik atmosfer, litosfer, dan hidrosfer. Kamu bisa baca lho tulisan tentang atmosfer di blog ini juga. Nah, dalam tulisan ini kita bakalan membahas sedikit tentang litosfer dulu ya
mengenal lapisan bumi litosfer - blog ruangguru - mencari litosfer
Apa sih yang dimaksud dengan litosfer?
Litosfer itu dapat diartikan sebagai lapisan batuan yang ada di bumi. Mudahnya bisa dipahami bagian padat dari bumi. Litosfer sendiri terdiri dari kerak bumi, mantel bumi, dan inti bumi. Perlu kamu ketahui nih Squad, lapisan-lapisan litosfer itu saling menyatu dan dipisahkan oleh hidrosfer.
Eitss...bukan berarti si hidrosfer ini jahat lho ya.
Hidrosfer memisahkan antara lapisan litosfer yang satu dengan yang lain yang mengakitbatkan adanya material panas yang membuat permukaan di tiap bagian litosfer itu berbeda-beda. Adanya perbedaan permukaan dari tiap lempengan di litosfer itu terbagi menjadi dalam dua teori yang bisa kamu pelajari
mengenal lapisan bumi litosfer - blog ruangguru - litosfer terbagi dua
Kita bahas satu per satu ya teorinya.

Pertama, Teori Tektonik Lempeng

Alfred Wegener, seorang meteorolog asal Jerman mengatakan bahwa teori tektonik lempeng menganut bahwa di zaman dahulu, semua benua di bumi ini menyatu dan membentuk dataran yang luas. Sebutannya Pangea. Sekitar 200 juta tahun yang lalu, Pangea mulai terpisah dan bergerak menjauh secara perlahan. Sayangnya, teori ini tidak didukung penjelasan bagaimana cara Pangea itu saling menjauh.
Pokoknya udah pisah gitu aja ngga ada penjelasan lebih lanjut.

Baca Juga: 6 Teori Pembentukan Tata Surya

mengenal lapisan bumi litosfer - blog ruangguru - alfred wegener

Kedua, Teori Gempa Bumi dan Gunung Berapi

Gempa bumi sendiri diartikan getaran yang merambat melalui material bumi. Ini disebabkan energi dari pergerakan lempeng yang ada di dalam bumi. Semakin besar energinya maka getarannya semakin terasa. Gempat bumi melepaskan gelombang seismik yang merambat sepanjang permukaan bumi. Yaps...jadi di tiap permukaan bumi yang kamu pijak ini terdapat gelombang seismik.
Ketika gempa terjadi di dasar laut, maka gerakan antarlempeng tersebut akan mendoriong air laut untuk naik ke permukaan dan menimbulkan gelombang yang sangat besar. Inilah yang disebut dengan tsunami.
mengenal lapisan bumi litosfer - blog ruangguru - infografik
Selain gempa bumi, ada juga teori tentang gunung berapi Squad. Beberapa gunung berapi yang ada sekarang ini terbentuk karena tabrakan antara 2 lempeng. Jika lempeng satu punya massa jenis yang lebih besar, akan menekuk ke bawah lempeng yang lain karena punya massa jenis yang lebih kecil. Nah, ketika lempeng yang menekuk di bawah lempeng lainnya inilah yang akan menjadi magma.
Berita menariknya nih, Indonesia itu kan negara dengan pertemuan lempeng yang begitu banyak. Jadi, jangan heran kalau di Indonesia banyak gunung berapinya. Salah satu rangkaian gunung api yang dikenal banyak orang ialah cincin api pasifik (ring of fire).
mengenal lapisan bumi litosfer - blog ruangguru - ring of fire
Selain peristiwa meletusnya gunung Krakatau (1883) dan tsunami Aceh (2004) masih banyak gejala alam yang diakibatkan adanya cincin api pasifik. Diantaranya:

1. Erupsi Gunung Tambora di Indonesia tahun 1815

2. Erupsi Gunung Ruiz di Kolombia tahun 1985

3. Erupsi Gunung Pinatubo di Filipina tahun 1991

4. Gempa bumi di Chile tahun 1960

5. Gempa bumi di Alaska tahun 1964

6. Gempa bumi di Jepang tahun 2011

Banyak banget kan Squad? Kamu nggak perlu takut kalau Indonesia berada di kawasan cincin api pasifik. Yang harus kamu takutkan itu kalau nggak paham materi belajar di sekolah. Tenaaanngg…ruangguru punya solusinya nih. Gabung aja di ruangbelajar for desktop yang sekarang sudah bisa diakses melalui laptop/PC lho. Langganan sekarang yuks.

Selasa, 18 Februari 2020

KEUTAMAAN SHOLAT IDUL ADHA

Keutamaan Shalat Idul Adha

Minggu, 12 Agustus 2018HIKMAH2200 klik
Hilmy FirdausyTeks:Hilmy Firdausy
Vanny RosaGrafis:Vanny Rosa

Pada hari raya kurban, atau yang akrab dikenal dengan Idul Adha, umat Islam dianjurkan melaksanakan shalat secara berjamaah. Shalat ini dilakukan sebelum penyembelihan hewan kurban. Niatnya adalah:
أُصَلِّيْ رَكْعَتَيْنِ سُنَّةً لعِيْدِ اْلأَضْحَى (مَأْمُوْمًا\إِمَامًا) للهِ تَعَــــــــالَى
Saya niat melaksanakan shalat sunnah Idul Adha dua rakat (ma’mum/ imam) karena Allah ta’ala.
Anjuran ini begitu ditekankan agar umat Islam mengerjakannya. karena di dalam shalat Idul Adha tersebut tersimpan keutamaan yang bisa diraih, di antaranya adalah:
a. Pahala mengerjakan sunnah Nabi Muhammad Saw. Karena memang beliau telah mencontohkan dan mengajak umatnya dalam menyambut hari raya kurban dengan mendirikan shalat sebagai bentuk syukur atas anugrah-Nya dengan disyari’atkannya penyembelihan hewan kurban.
b. Ganjaran ibadah yang dilakukan pada bulan Dzul Hijjah sangat besar. Bahkan ada jaminan dari Nabi bahwa ibadah yang dikerjakan pada bulan itu, termasuk shalat Idul Adha, akan ditambah pahalanya. Hal ini berdasarkan pada sabda Nabi:
عَنْ أَبِي بكرة رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ شَهْرَانِ لَا يَنْقُصَانِ شَهْرَا عِيدٍ رَمَضَانُ وَذُو الْحَجَّةِ (رواه البخاري)
Diriwayatkan dari Abi Bakrah, dari Nabi Muhammad Saw bersabda: ada dua bulan yang tidak akan dikurangi (pahalanya ketika dikerjakan pada bulan tersebut). Kedua bulan itu adalah bulan hari raya, yakni Ramadan dan Dzul Hijjah.” (HR. Bukhari).
c. Mempererat tali silaturrahmi dengan sanak famili, tetangga, dan saudara muslim lainnya. Sebab shalat Idul Adha dikerjakan secara berjamaah dan pelaksanaannya di masjid atau di tanah lapang. Dengan begitu, dapat dipastikan akan berjumpa dengan umat Islam lainnya, sehingga bagi yang susah bertemu akibat kesibukan masing-masing dapat berjumpa dan berkumpul di tempat dan acara yang sama.
Selain beberapa keutamaan di atas, masih ada keutamaan lainnya yang dapat ditemukan dan diraih melalui keutamaan bulan Dzul Hijjah itu sendiri. Adapun keutamaan khusus mengenai shalat Idul Adha minimal sebagaimana disebutkan di atas.

Empat Kunci Ikhtiar, Meraih Hidayah Allah

Empat Kunci Ikhtiar, Meraih Hidayah Allah

Empat Kunci Ikhtiar, Meraih Hidayah Allah
KATA ikhtiar persamaan atau padanannya adalah usaha dan Allah Subhanahu Wata’ala.
Allah berfirman dalam Surat-17 Al-Israa’ ayat-19:
وَمَنْ أَرَادَ الآخِرَةَ وَسَعَى لَهَا سَعْيَهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَئِكَ كَانَ سَعْيُهُم مَّشْكُوراً
“Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha (berikhtiar) ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mukmin, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya (ikhtiarnya) dibalasi dengan baik.”
Sedangkan kata hidayah persamaan atau padanannya adalah tuntunan atau petunjuk dari Tuhan dan Allah subhanahu Wata’ala telah berfirman dalam Surat Az-Zukhruf [43] ayat-27:
إِلَّا الَّذِي فَطَرَنِي فَإِنَّهُ سَيَهْدِينِ
“Tetapi (aku menyembah) Tuhan yang menjadikanku, karena sesungguhnya Dia akan memberi hidayah kepadaku.”
Adapun langkah-langkah ikhtiar untuk meraih hidayah dari Allah Subhanahu Wata’ala, maka kita dianjurkan bersikap baik tutur kata maupun perbuatannya antara lain :
Pertama, tidak boleh sombong atau takabur, biasakan melakukan ucapan insyaa Allah, jika ada maksud atau menjawab, menukil Surat-31 Luqmaan ayat-18: “Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.”
Quran surat Al-Hujurat [49] ayat-1: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rosuul-Nya dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Kedua, selalu menggunakan akal dan berfikir yang ma’ruf (adil dan benar), menukil Surat Al-Maaidah [5] ayat-100 : “Katakanlah; “Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, maka bertaqwalah kepada Allah, hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan."
Surat Ar-Ruum [30] ayat-21 :
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجاً لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang, sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”
Ketiga,  banyak berdzikir. Misalnya “Laa Ilaaha Illaallaah Muhammadur Rosuulullaah” setiap pagi dan petang, kalimat “Laa Ilaaha Illaallaah”, menukil Surat Muhammad [47] ayat-19:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوَاكُمْ
“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (sesembahan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal.”
Kalimat “Muhammadur Rosuulullaah”, menukil Surat- Al-Fath ayat [48]: 29 :
مُّحَمَّدٌ رَّسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاء عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاء بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعاً سُجَّداً يَبْتَغُونَ فَضْلاً مِّنَ اللَّهِ وَرِضْوَاناً سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِم مِّنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُم مَّغْفِرَةً وَأَجْراً عَظِيماً
Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridloan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurot dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shaleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.”
Keempat, selalu menghhatamkan Al-Qur’an, minimal setiap harinya Satu ‘Ain, menukil Surat Ibrahiim [14] ayat-52 : “(Al-Qur`an) ini adalah penjelasan yang sempurna bagi manusia dan supaya mereka diberi peringatan dengan-Nya dan supaya mereka mengetahui bahwasanya Dia adalah Tuhan Yang Maha Satu dan agar orang-orang yang berakal mengambil pelajaran.”
Kelima, selalu Silaturahmi dengan para Ulama/ orang-orang Saleh, menukil Surat An-Nisaa [4] ayat-1 : “Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri dan dari padanya Allah menciptakan isterinya dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain dan (peliharalah) hubungan silaturahmi (silaturrohiim), sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi Kamu.
Surat An-Nisaa [4] ayat-69 : “Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rosul (Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-Nabi, para orang Jujur, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang Shaleh dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.”
Surat- Faathir [35] ayat-28: “Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya), sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah Ulama. Sesungguhnya Allah Maha Gagah lagi Maha Pengampun

Iqamah


Hukum Iqamah
Dalam pembahasan adzan terdahulu, kita telah mengetahui bahwa hukum iqamah adalah fardhu kifayah dalam shalat berjamaah. Adapun untuk shalat sendiri, hukumnya mustahab (sunnah), dengan dalil sabda Rasulullah n:
إِذَا كَانَ الرَّجُلُ بِأَرْضٍ قِيٍّ، فَحَانَتِ الصَّلاَةُ فَلْيَتَوَضَّأْ فَإِنْ لَمْ يَجِدْ مَاءً فَلْيَتَيَمَّمْ، فَإِنْ أَقَامَ صَلَّى مَعَهُ مَلَكَاهُ، وَإِنْ أَذَّنَ وَأَقَامَ صَلَّى خَلْفَهُ مِنْ جُنُوْدِ اللهِ مَا لاَ يُرَى طَرْفاَهُ
“Bila seseorang berada di tanah yang tandus tidak berpenghuni lalu datang waktu shalat, ia pun berwudhu dan bila tidak beroleh air ia bertayammum. Maka jika ia menyerukan iqamah untuk shalat akan shalat bersamanya dua malaikat yang menyertainya. Jika ia adzan dan iqamah maka akan shalat di belakangnya tentara-tentara Allah yang tidak dapat terlihat dua ujungnya.” (HR. Abdurrazzaq dan Ibnu Abi Syaibah, sanadnya shahih di atas syarat As-Sittah, kata Al-Imam Al-Albani t, Ats-Tsamarul Mustathab, 1/45)

Lafadz Iqamah
Ada dua macam iqamah:
Pertama: terdiri dari 17 kalimat:
اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ،
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ،
أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ،
حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ، حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ،
حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ، حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ،
قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ، قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ
اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ
Iqamah ini disebutkan dalam hadits Abu Mahdzurah z yag mengisahkan tentang Nabi n mengajarkan padanya adzan sebanyak 19 kalimat dan iqamah 17 kalimat. (lihat kembali haditsnya dalam pembahasan adzan di Majalah Asy Syariah No. 49)
Al-Imam At-Tirmidzi t mengatakan, “Sebagian ahlul ilmi berkata, ‘Adzan itu dua kali, dua kali, demikian pula iqamah dua kali dua kali’.” Selanjutnya At-Tirmidzi mengabarkan, “Ini merupakan pendapat Sufyan Ats-Tsauri, Ibnul Mubarak, dan penduduk Kufah.” (Sunan At-Tirmidzi, 1/125)
Al-Imam Al-Albani t menyatakan, “Ibnu Hazm t sungguh ganjil dalam pendapatnya yang menyatakan bahwa digandakannya iqamah itu mansukh (terhapus hukumnya) dengan hadits Anas z yang akan datang penyebutannya, yaitu: ‘Bilal diperintah untuk menggandakan adzan dan mengganjilkan iqamah.’ Tidak ada pendorong untuk mengaku-ngaku mansukh-nya hadits tentang penggandaan iqamah selama memungkinkan menjamak (mengumpulkan) antara ganda dengan ganjil, di mana riwayat yang menyebutkan ganda dibawa pada sebagian waktu dan riwayat ganjil di waktu yang lain (kadang diamalkan ini dan di waktu lain diamalkan yang satunya lagi).” (Ats-Tsamar, 1/207)

Kedua: terdiri dari 11 kalimat, dengan mengganjilkan lafadz-lafadznya terkecuali lafadz: قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ. Selengkapnya sebagai berikut:
اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ،
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ،
حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ، حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ،
قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ، قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ،
اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ
Sebagaimana disebutkan dalam hadits Abdullah bin Zaid z yang juga sudah pernah kami bawakan di pembahasan adzan dalam Majalah Asy Syariah no. 49.
Kata Al-Baghawi t, “Mayoritas ahlul ilmi dari kalangan sahabat dan tabi’in berpendapat iqamah itu ganjil. Ini merupakan pendapat Al-Hasan, Makhul, madzhab Az-Zuhri, Malik, Al-Auza’i, Asy-Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq. Ibnu ‘Umar dan Bilal c meriwayatkannya, demikian pula dihikayatkan oleh Sa’d Al-Qurazhi. Sa’d ini yang dijadikan Bilal sebagai pengganti dirinya untuk menyerukan adzan di masjid Rasulullah n saat Bilal pindah ke Syam di masa pemerintahan ‘Umar ibnul Khaththab z. Sa’d mengganjilkan iqamah. Amalan inilah yang dijalankan di Al-Haramain (Makkah dan Madinah), Hijaz, negeri-negeri Syam, Yaman, negeri-negeri Mesir, dan daerah-daerah Maghrib.” (Syarhus Sunnah, 2/255)
Al-Khaththabi t berkata, “Madzhab jumhur ulama dan amalan yang dijalankan di Al-Haramain, Hijaz, Syam, Yaman, Mesir, Maghrib, hingga penjuru negeri-negeri Islam adalah mengganjilkan iqamah.” (Al-Minhaj, 3/300)

Tuntunan Bagi yang Mendengar Iqamah
Disenangi bagi orang yang mendengar iqamah untuk menjawab iqamah tersebut seperti yang diucapkan muadzin/muqim. (Al-Mughni, kitab Ash-Shalah, fashl Yustahabbu An Yaqula fil Iqamah Mitsla Ma Yaqulu)
Dalilnya adalah keumuman sabda Nabi n:
إِذَا سَمِعْتُمُ النِّدَاءَ فَقُوْلُوْا مِثْلَ مَا يَقُوْلُ الْمُؤَذِّنُ
“Apabila kalian mendengar adzan maka ucapkanlah seperti yang sedang diucapkan muadzin.” (HR. Al-Bukhari no. 611 dan Muslim no. 846)
Juga karena iqamah itu merupakan adzan secara bahasa, demikian pula secara syar’i, dengan dalil sabda Rasulullah n:
بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلاَةٌ
“Di antara dua adzan ada shalat (sunnah).” (HR. Al-Bukhari no. 627)
Kata Al-Hafizh t menjelaskan, “Yaitu adzan dan iqamah.” (Fathul Bari, 2/141)
Orang-orang yang bermadzhab Syafi’iyyah sepakat tentang mustahab (sunnah)nya mengikuti ucapan muqim (orang yang menyerukan iqamah). (Al-Majmu’ 3/130)
Pendapat ini juga yang difatwakan oleh Al-Lajnah Ad-Da’imah lil Buhutsil ‘Ilmiyah wal Ifta’ dalam fatwa mereka no. 2396, 2801, 5609.
Jawaban iqamah sama persis sebagaimana jawaban terhadap adzan karena iqamah merupakan adzan yang diserukan muadzin/muqim, termasuk mengucapkan: قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ. Adapun hadits Abu Umamah Shudai ibnu ‘Ajlan z yang menyebutkan saat Bilal z dalam iqamahnya mengatakan: قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ, Rasulullah n menjawab:
أَقاَمَهَا اللهُ وَأَدَامَهَا
“Semoga Allah menegakkan dan mengekalkannya.”
Hadits yang diriwayatkan Al-Imam Abu Dawud dalam Sunan-nya (no. 528) ini dhaif. Kata Al-Imam An Nawawi t, “Hadits ini dhaif karena dalam sanadnya disebutkan ada seorang lelaki dari penduduk Syam (tidak disebutkan siapa dia), berarti rawi ini majhul. Rawi lain bernama Muhammad ibnu Tsabit Al-Abdi, dia dhaif menurut kesepakatan. Demikian pula rawi yang bernama Syahr diperselisihkan tentang ‘adalahnya.” (Al-Majmu’ 3/130)
Hadits ini didhaifkan pula dalam Al-Irwa’ (no. 241).
Di samping kelemahan di atas, hadits ini juga menyelisihi hadits shahih yang berisi perintah untuk mengucapkan ucapan yang sama dengan apa yang diucapkan muadzin, sebagaimana haditsnya telah disinggung di atas.

Faedah
Al-Imam Al-Albani t menyatakan, hanya Ibnul Qayyim t yang secara terang-terangan menyatakan tentang mustahab (sunnah)nya bershalawat kepada Nabi n dan memintakan wasilah untuk beliau setelah mendengar iqamah, dalam kitabnya Jala’ul Afham. (Ats-Tsamar 1/215)
Al-Lajnah Ad-Da’imah lil Buhutsil ‘Ilmiyah wal Ifta’ dalam fatwa mereka no. 10426 menyatakan disyariatkannya seseorang menjawab sebagaimana yang diucapkan muqim (orang yang mengumandangkan iqamah) dan bershalawat terhadap Nabi, demikian pula meminta wasilah bagi beliau kepada Allah l sebelum ditegakkannya takbir karena keumuman sabda Nabi n:
إِذَا سَمِعْتُمُ النِّدَاءَ فَقُوْلُوْا مِثْلَ مَا يَقُوْلُ الْمُؤَذِّنُ
“Apabila kalian mendengar adzan maka ucapkanlah seperti yang sedang diucapkan muadzin.” (HR. Al-Bukhari no. 611 dan Muslim no. 846)

Tenggang Waktu antara Adzan dan Iqamah
Tenggang waktu antara diserukannya adzan dengan iqamah, diperkirakan sekadar seseorang mengerjakan shalat minimal dua rakaat, dengan dalil sabda Rasulullah n:
بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلاَةٌ
“Di antara dua adzan ada shalat (sunnah).”
Anas bin Malik z berkata, “Apabila muadzin selesai menyerukan adzan maghrib, bangkitlah para sahabat Nabi z. Mereka bersegera menuju ke tiang masjid1 sampai Nabi n keluar (dari rumahnya masuk ke masjid). Demikianlah mereka, mengerjakan shalat dua rakaat sebelum maghrib. Tidak ada jarak antara adzan dan iqamah kecuali sedikit.” (HR. Al-Bukhari no. 625)
Ibnu Baththal berkata, “Tidak ada batasan waktu (antara adzan dan iqamah) kecuali sekadar telah masuknya waktu shalat dan berkumpulnya orang-orang yang hendak shalat.” (Fathul Bari, 2/140)
Hadits lain yang menunjukkan adanya jarak waktu antara adzan dan iqamah adalah hadits Aisyah x, “Adalah Rasulullah n bila muadzin selesai menyerukan adzan subuh, beliau bangkit untuk mengerjakan shalat dua rakaat yang ringan sebelum mengerjakan shalat fajar setelah benar-benar jelas terbitnya fajar. Kemudian beliau berbaring di atas rusuk kanannya sampai muadzin mendatangi beliau untuk menyerukan iqamah.” (HR. Al-Bukhari no. 626)

Iqamah Diserukan Setelah Imam Datang
Sebaiknya iqamah tidak diserukan terkecuali bila imam telah datang, dengan dalil hadits Jabir ibnu Samurah z:
كَانَ مُؤَذِّنُ رَسُوْلِ اللهِ n يُؤَذِّنُ ثُمَّ يُمْهِلُ، فَلاَ يُقِيْمُ حَتَّى إِذَا رَأَى رَسُوْلَ اللهِ n قَدْ خَرَجَ أَقَامَ الصَّلاَةَ حِيْنَ يَرَاهُ
“Adalah muadzin Rasulullah n menyerukan adzan lalu ia menangguhkan (iqamah), ia tidak menyerukan iqamah sampai ia melihat Rasulullah n telah keluar, ia pun menyerukan iqamah tatkala melihat beliau.” (HR. At-Tirmidzi no. 202 [ini lafadz beliau] dan Abu Dawud no. 537. Kata Al-Imam Al-Albani t dalam Shahih Sunan Abu Dawud: “Hadits ini shahih.”)
Demikian pula jamaah yang hadir, mereka tidak bangkit dari tempat duduknya terkecuali bila melihat imam telah hadir walaupun iqamah telah diserukan sebelum itu. Karena Rasulullah n bersabda dalam hadits yang dibawakan oleh Abu Qatadah Al-Anshari z:
إِذَا أُقِيْمَتِ الصَّلاَةُ فَلاَ تَقُوْمُوْا حَتَّى تَرَوْنِي (قَدْ خَرَجْتُ)
“Apabila telah diserukan iqamah untuk shalat maka janganlah kalian berdiri sampai kalian melihatku (telah keluar dari rumah menuju masjid).” (HR. Al-Bukhari no. 637 dan Muslim no. 1364. Adapun lafadz dalam kurung merupakan tambahan dari satu riwayat Muslim no. 1365)
Al-Imam At-Tirmidzi t setelah membawakan hadits di atas menyatakan, “Sebagian ahlul ilmi dari kalangan sahabat Nabi n dan selain mereka membenci bila orang-orang menanti imam dalam keadaan mereka berdiri. Sebagian ahlul ilmi mengatakan, ‘Bila imam telah berada di masjid lalu diserukan iqamah untuk shalat maka jamaah yang hadir baru bangkit dari duduk mereka, setelah muadzin mengatakan, قدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ ،قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ. Ini merupakan pendapat Ibnul Mubarak.” (Sunan At-Tirmidzi, 2/52)
Al-Imam Abu Dawud t berkata dalam Masail-nya (29): Aku pernah bertanya kepada Al-Imam Ahmad t, “Kapan orang-orang berdiri untuk mengerjakan shalat?” Beliau menjawab, “Apabila muadzin telah mengatakan: قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ.” Abu Dawud bertanya lagi, “Bila imam belum datang?” Beliau menjawab, “Mereka tidak berdiri sampai mereka melihat imam.”
Al-Hafizh t berkata, “Mayoritas ulama berpendapat, bila imam sudah ada bersama mereka di masjid, maka mereka tidak bangkit dari tempatnya sampai iqamah selesai diserukan. Diriwayatkan Ibnul Mundzir dan selainnya dari Anas bahwa ia baru bangkit bila muadzin telah mengatakan: قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ. Demikian pula yang diriwayatkan oleh Sa’id ibnu Manshur, dari jalur Abu Ishaq, dari murid-murid Abdullah.”
Beliau juga berkata, “Adapun bila imam belum hadir di masjid maka jumhur berpendapat orang-orang tidak bangkit sampai mereka melihat imam datang.”
Zahir hadits ini juga menunjukkan bolehnya diserukan iqamah sementara imam masih di rumahnya bila sang imam bisa mendengar iqamah tersebut dan memang telah ada izin darinya. (Fathul Bari, 2/157)

Apakah Harus Muadzin yang Menyerukan Iqamah?
Semestinya orang yang menyerukan adzan (muadzin), dia pula yang menyerukan iqamah. Demikian pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i. (Al-Mughni, kitab Ash-Shalah, fashl Man Adzdzna fa Huwa Yuqimu)
Dalilnya dari As-Sunnah adalah apa yang dahulu dilakukan oleh muadzin Rasulullah n, Bilal z, ia yang adzan dan ia pula yang iqamah. Hikmahnya adalah agar tidak menjadi rancu bagi orang-orang yang mendengar, juga agar muadzin tahu bahwa ia bertanggung jawab terhadap dua pemberitahuan yang ada, yaitu adzan dan iqamah. (Asy-Syarhul Mumti’, 2/66)
Namun tidak menjadi masalah bila selain muadzin yang menyerukan iqamah, karena tidak ada nash yang melarang hal ini. Adapun hadits yang bunyinya:
مَنْ أَذَّنَ فَهُوَ يُقِيْمُ
“Siapa yang adzan maka dia yang iqamah.” (HR. Ahmad 4/169, Abu Dawud no. 514 dan selainnya)
Didhaifkan sanadnya oleh Al-Baghawi, An-Nawawi, dan didhaifkan pula dalam Al-Irwa’ (no. 237) dan Adh-Dha’ifah (no. 35).
Al-Imam Abu Hanifah dan Malik rahimahumallah berpendapat tidak ada bedanya antara si muadzin itu sendiri yang menyerukan iqamah ataupun orang lain. (Al-Mughni, kitab Ash-Shalah, fashl Man Adzdzna fa Huwa Yuqimu)

Tidak Ada Shalat Sunnah Setelah Diserukan Iqamah
Abu Hurairah z meriwayatkan sabda Nabi n:
إِذَا أُقِيْمَتِ الصَّلاَةُ فَلاَ صَلاَةَ إِلاَّ الْمَكْتُوْبَةُ
“Apabila telah diserukan iqamah untuk shalat maka tidak ada shalat kecuali shalat wajib.” (HR. Muslim no. 1642)
Shalat wajib yang dimaksud adalah shalat yang iqamah diserukan untuknya sebagaimana ditunjukkan dalam riwayat Ahmad (2/352):
إِذَا أُقِيْمَتِ الصَّلاَةُ فَلاَ صَلاَةَ إِلاَّ الَّتِي أُقِيْمَتْ
“Apabila telah diserukan iqamah untuk shalat maka tidak ada shalat kecuali shalat yang iqamah diserukan untuknya.” (Al-Imam Al-Albani t mengatakan sanadnya shahih, perawinya adalah perawi Muslim selain Ibnu Lahi’ah, ia tsiqah namun dikhawatirkan buruk hapalannya. Namun hadits ini memiliki mutaba’ah sehingga hilang kekhawatiran tersebut. Lihat Ats-Tsamar, 1/224)
Berdasarkan hadits di atas, bila iqamah telah diserukan, tidak boleh seseorang memulai mengerjakan shalat sunnah baik berupa sunnah fajar, dhuhur, ashar, atau selainnya. Yang seharusnya dilakukan adalah bergabung dengan jamaah untuk mengerjakan shalat fardhu yang diserukan iqamah untuknya. Ini merupakan madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i t, bahkan jumhur ulama. (Al-Minhaj, 5/228)
Al-Imam At-Tirmidzi t, “Pendapat seperti inilah yang diamalkan di sisi ahlul ilmi dari kalangan sahabat Nabi n dan selain mereka, yaitu bila telah diserukan iqamah shalat, tidak boleh seseorang mengerjakan shalat terkecuali shalat yang wajib. Sufyan Ats Tsauri mengucapkan yang seperti ini. Demikian pula Ibnul Mubarak, Asy-Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq.” (Sunan At-Tirmidzi, 1/264, 265)
Hikmahnya, kata Al-Imam An Nawawi t adalah agar seseorang memusatkan diri mengerjakan shalat fardhu dari awal, ia bisa takbiratul ihram sesegera setelah takbirnya imam. Adapun kalau ia menyibukkan diri dengan shalat sunnah, niscaya ia akan luput melakukan takbiratul ihram bersama imam. Akan luput pula darinya sebagian penyempurna shalat fardhu. Sementara shalat fardhu memang seharusnya lebih dijaga kesempurnaan penunaiannya daripada selainnya.” (Al-Minhaj, 5/229)

Mendatangi Iqamah Shalat dengan Tenang Tanpa Tergesa-Gesa
Bila seseorang belum masuk ke dalam masjid sementara iqamah telah diserukan maka janganlah ia bergegas, terburu-buru, atau bahkan berlari-lari untuk bergabung dengan jamaah. Hendaknya ia berjalan dengan sakinah atau tenang dan tidak terburu-buru, sebagaimana sabda Rasulullah n:
إِذَا أُقِيْمَتِ الصَّلاَةُ فَلاَ تَأْتُوْهَا وَأَنْتُمْ تَسْعَوْنَ، وَائْتُوْهَا تَمْشُوْنَ وَعَلَيْكُمُ السَّكِيْنَةَ، فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوْا وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوْا
“Apabila telah diserukan iqamah shalat maka janganlah kalian mendatanginya dalam keadaan kalian bergegas-gegas. Datangilah dalam keadaan kalian berjalan biasa, dan sepatutnya kalian tenang tidak terburu-buru. Apa yang kalian dapati dari shalat tersebut, maka shalatlah dan apa yang kalian terluputkan maka sempurnakanlah.” (HR. Al-Bukhari no. 636 dan Muslim no. 1358, lafadz di atas adalah lafadz Muslim)
Dalam lafadz Muslim yang lain (no. 1359) ada tambahan:
…فَإِنَّ أَحَدَكُمْ إذا كَانَ يَعْمِدُ إِلَى الصَّلاَةِ فَهُوَ فيِ الصَّلاَةِ
“Karena salah seorang dari kalian jika ia bersengaja menuju shalat maka ia teranggap dalam keadaan shalat.”

KEUTAMAAN-KEUTAMAAN BERWUDHU

KEUTAMAAN-KEUTAMAAN BERWUDHU



  Rasulullah shollallahu alaihi wasallam memiliki banyak keutamaan, di antaranya: 

1. Keluar dosa (kecil) bersamaan dengan mengalirnya air tetesan bekas wudhu pada anggota tubuh. إِذَا تَوَضَّأَ الْعَبْدُ الْمُسْلِمُ أَوْ الْمُؤْمِنُ فَغَسَلَ وَجْهَهُ خَرَجَ مِنْ وَجْهِهِ كُلُّ خَطِيئَةٍ نَظَرَ إِلَيْهَا بِعَيْنَيْهِ مَعَ الْمَاءِ أَوْ مَعَ آخِرِ قَطْرِ الْمَاءِ فَإِذَا غَسَلَ يَدَيْهِ خَرَجَ مِنْ يَدَيْهِ كُلُّ خَطِيئَةٍ كَانَ بَطَشَتْهَا يَدَاهُ مَعَ الْمَاءِ أَوْ مَعَ آخِرِ قَطْرِ الْمَاءِ فَإِذَا غَسَلَ رِجْلَيْهِ خَرَجَتْ كُلُّ خَطِيئَةٍ مَشَتْهَا رِجْلَاهُ مَعَ الْمَاءِ أَوْ مَعَ آخِرِ قَطْرِ الْمَاءِ حَتَّى يَخْرُجَ نَقِيًّا مِنْ الذُّنُوبِ Jika seorang hamba muslim atau mukmin berwudhu kemudian ia mencuci wajahnya, keluarlah dari wajahnya seluruh dosa karena penglihatan kedua matanya bersamaan dengan air atau akhir tetesan air. Jika ia mencuci kedua tangannya, keluarlah dari kedua tangannya setiap dosa yang dilakukan tangannya bersamaan dengan air atau tetesan air terakhir. Jika ia mencuci kedua tangannya keluarlah semua dosa yang dilakukan langkah kakinya bersamaan dengan air atau tetesan air terakhir, hingga ia keluar (dari berwudhu) dalam keadaan bersih dari dosa (H.R Muslim dari Abu Hurairah) 2. Senantiasa menjaga wudhu salah satu tanda kesempurnaan iman. وَلاَ يُحَافِظُ عَلَى الْوُضُوءِ إِلاَّ مُؤْمِنٌ Dan tidaklah menjaga wudhu kecuali seorang mukmin (H.R Ahmad, Ibnu Majah, dishahihkan Ibnu Hibban dan al-Albany) 
3. Menyempurnakan wudhu di saat kondisi menyulitkan bisa menghapus dosa dan meningkatkan derajat seseorang. أَلَا أَدُلُّكُمْ عَلَى مَا يَمْحُو اللَّهُ بِهِ الْخَطَايَا وَيَرْفَعُ بِهِ الدَّرَجَاتِ قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ إِسْبَاغُ الْوُضُوءِ عَلَى الْمَكَارِهِ وَكَثْرَةُ الْخُطَا إِلَى الْمَسَاجِدِ وَانْتِظَارُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الصَّلَاةِ فَذَلِكُمْ الرِّبَاطُ Maukah kalian aku tunjukkan pada hal-hal yang dengannya Allah hapus dosa-dosa dan mengangkat derajat. Para Sahabat berkata: Ya, wahai Rasulullah. Rasul bersabda: menyempurnakan wudhu pada saat kesulitan, memperbanyak jalan menuju masjid, menunggu sholat setelah sholat. Itu adalah ar-Ribaath (bagaikan berjaga di perbatasan dalam perang di jalan Allah)(H.R Muslim dari Abu Hurairah) 4. Bekas air wudhu pada anggota tubuh akan menjadi tanda yang bercahaya pada hari kiamat sebagai tanda umat Muhammad shollallahu alaihi wasallam. فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ تَعْرِفُ مَنْ يَأْتِي بَعْدَكَ مِنْ أُمَّتِكَ قَالَ أَرَأَيْتَ لَوْ كَانَ لِرَجُلٍ خَيْلٌ غُرٌّ مُحَجَّلَةٌ فِي خَيْلٍ دُهْمٍ بُهْمٍ أَلَا يَعْرِفُ خَيْلَهُ قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ فَإِنَّهُمْ يَأْتُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ غُرًّا مُحَجَّلِينَ مِنْ الْوُضُوءِ Para Sahabat bertanya: Wahai Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bagaimana engkau mengetahui orang yang datang setelahmu bahwa ia adalah umatmu? Rasul menyatakan: Bagaimana pendapatmu jika seseorang memiliki kuda yang putih pada bagian depan kepala dan kaki-kakinya berada di sekumpulan kuda yang hitam legam, tidakkah ia bisa mengenali kudanya? Para Sahabat berkata: Ya, wahai Rasulullah. Beliau bersabda: Sesungguhnya mereka (umatku) akan datang pada hari kiamat dalam keadaan putih (bersinar) pada bagian wajah, tangan dan kakinya karena wudhu’ (H.R Malik, anNasaai dari Abu Hurairah dishahihkan Ibnu Hibban dan al-Albany) 5. Berwudhu dengan menghirup air dan mengeluarkannya 3 kali setelah bangun tidur bisa mengusir syaithan yang mendekam dalam rongga hidung إِذَا اسْتَيْقَظَ أُرَاهُ أَحَدُكُمْ مِنْ مَنَامِهِ فَتَوَضَّأَ فَلْيَسْتَنْثِرْ ثَلَاثًا فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَبِيتُ عَلَى خَيْشُومِهِ Jika salah seorang dari kalian bangun dari tidurnya kemudian berwudhu, hendaknya mengeluarkan air dari hidung sebanyak 3 kali karena syaithan bermalam di rongga hidungnya (H.R al-Bukhari dari Abu Hurairah) 6. Barangsiapa yang berwudhu secara sempurna kemudian sholat dua rokaat secara khusyu’ maka diampuni dosanya dan baginya surga. عَنْ حُمْرَانَ مَوْلَى عُثْمَانَ أَخْبَرَهُ أَنَّ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ دَعَا بِوَضُوءٍ فَتَوَضَّأَ فَغَسَلَ كَفَّيْهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ مَضْمَضَ وَاسْتَنْثَرَ ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُمْنَى إِلَى الْمِرْفَقِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ مَسَحَ رَأْسَهُ ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَهُ الْيُمْنَى إِلَى الْكَعْبَيْنِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ الْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا ثُمَّ قَامَ فَرَكَعَ رَكْعَتَيْنِ لَا يُحَدِّثُ فِيهِمَا نَفْسَهُ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ dari Humran maula Utsman bahwasanya Utsman bin Affan radhiyallahu anhu meminta diambilkan air wudhu kemudian beliau berwudhu mencuci kedua telapak tangannya 3 kali kemudian berkumur-kumur dan (menghirup serta) mengeluarkan air dari hidung kemudian mencuci wajahnya 3 kali kemudian mencuci tangan kanan hingga siku 3 kali kemudian mencuci tangan kiri hingga siku 3 kali seperti itu kemudian mengusap kepala kemudian mencuci (telapak) kaki kanan hingga matakaki 3 kali kemudian mencuci (telapak) kaki kiri seperti itu 3 kali. Kemudian Utsman berkata: Saya melihat Rasulullah shollallahu alaihi wasallam berwudhu seperti wudhu saya ini kemudian beliau bersabda: Barangsiapa yang berwudhu seperti wudhuku ini kemudian bangkit sholat dua rokaat dengan khusyu maka akan diampuni dosanya yang telah lalu (H.R al-Bukhari dan Muslim) مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَتَوَضَّأُ فَيُحْسِنُ وُضُوءَهُ ثُمَّ يَقُومُ فَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ مُقْبِلٌ عَلَيْهِمَا بِقَلْبِهِ وَوَجْهِهِ إِلَّا وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ Tidaklah seorang muslim berwudhu kemudian menyempurnakan wudhunya kemudian bangkit melakukan sholat dua rokaat menghadapkan wajah dan hatinya (kepada Allah) kecuali wajib baginya surga (H.R Muslim dari Uqbah bin Amir) 7. Berwudhu dan membiasakan sholat sunnah setelahnya adalah amalan penduduk surga (Bilal bin Rabah) عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِبِلَالٍ عِنْدَ صَلَاةِ الْفَجْرِ يَا بِلَالُ حَدِّثْنِي بِأَرْجَى عَمَلٍ عَمِلْتَهُ فِي الْإِسْلَامِ فَإِنِّي سَمِعْتُ دَفَّ نَعْلَيْكَ بَيْنَ يَدَيَّ فِي الْجَنَّةِ قَالَ مَا عَمِلْتُ عَمَلًا أَرْجَى عِنْدِي أَنِّي لَمْ أَتَطَهَّرْ طَهُورًا فِي سَاعَةِ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ إِلَّا صَلَّيْتُ بِذَلِكَ الطُّهُورِ مَا كُتِبَ لِي أَنْ أُصَلِّيَ Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwa Nabi shollallahu alaihi wasallam berkata kepada Bilal pada saat sholat Subuh: Wahai Bilal sampaikan kepadaku amalan yang paling kau harapkan dalam Islam yang kau lakukan karena aku mendengar suara sandalmu di depanku di surga. Bilal berkata: Tidaklah aku melakukan suatu amalan yang paling aku harapkan, (kecuali) saat aku berwudhu pada siang atau malam kecuali aku sholat sesuai dengan yang mampu aku lakukan dengan wudhu itu (H.R al-Bukhari dan Muslim) 8. Berwudhu secara sempurna kemudian berdoa setelahnya: “Asy-hadu an laa ilaaha illallaah wa anna muhammadan abdullahi wa rosuuluh” menyebabkan akan dibukakan pintu surga yang delapan (H.R Muslim – telah disebut haditsnya dalam pembahasan tentang sunnah dalam wudhu) 9. Tidur malam dalam keadaan suci (setelah berwudhu) dan berdzikir sebelumnya memiliki beberapa keutamaan, di antaranya : a. Disertai Malaikat dalam tidurnya. b. Didoakan ampunan oleh para Malaikat. c. Jika bangun, dan berdoa kepada Allah, doanya mustajabah. d. Jika sebelumnya diiringi dengan doa khusus dari Nabi, dengan tidur miring pada sisi kanan, kemudian meninggal dalam keadaan itu, maka ia meninggal dalam keadaan fitrah. لَيْسَ مِنْ عَبْدِ يَبِيْتُ طَاهِرًا إِلاَّ بَاتَ مَعَهُ فِي شِعَارِهِ مَلَكٌ لاَ يَنْقَلِبُ سَاعَةً مِنَ اللَّيْلِ إِلاَّ قَالَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِعَبْدِكَ فَإِنَّهُ بَاتَ طَاهِرًا Tidaklah seorang hamba tidur malam dalam keadaan suci kecuali akan bermalam pada bajunya satu Malaikat, sehingga tidaklah ia membalikkan tubuhnya di waktu malam kecuali Malaikat itu berdoa: Ya Allah ampunilah hambaMu ini karena sesungguhnya ia tidur malam dalam keadaan suci (H.R atThobarony dari Ibnu Abbas dinyatakan sanadnya jayyid oleh al-Mundziri, dinyatakan hasan li ghoirihi oleh al-Albany) مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَبِيتُ عَلَى ذِكْرٍ طَاهِرًا فَيَتَعَارُّ مِنَ اللَّيْلِ فَيَسْأَلُ اللَّهَ خَيْرًا مِنَ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ إِلَّا أَعْطَاهُ إِيَّاهُ Tidaklah seorang muslim tidur malam dalam keadaan berdzikir dan suci kemudian bangun di waktu malam kemudian meminta kepada Allah kebaikan di dunia dan akhirat kecuali Allah berikan kepadanya (H.R Abu Dawud, anNasaai dari Muadz bin Jabal, dishahihkan al-Albany. Abu Dzhobyah dinyatakan oleh al-Hafidz sebagai maqbuul, namun hal ini perlu dikaji lagi karena Ibnu Ma’in dan al-Mundziri mentsiqohkannya sedangkan tidak ada Ulama lain yang men-jarh dirinya, sebagaimana penjelasan Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad). إِذَا أَتَيْتَ مَضْجَعَكَ فَتَوَضَّأْ وُضُوءَكَ لِلصَّلَاةِ ثُمَّ اضْطَجِعْ عَلَى شِقِّكَ الْأَيْمَنِ ثُمَّ قُلْ اللَّهُمَّ أَسْلَمْتُ وَجْهِي إِلَيْكَ وَفَوَّضْتُ أَمْرِي إِلَيْكَ وَأَلْجَأْتُ ظَهْرِي إِلَيْكَ رَغْبَةً وَرَهْبَةً إِلَيْكَ لَا مَلْجَأَ وَلَا مَنْجَا مِنْكَ إِلَّا إِلَيْكَ اللَّهُمَّ آمَنْتُ بِكِتَابِكَ الَّذِي أَنْزَلْتَ وَبِنَبِيِّكَ الَّذِي أَرْسَلْتَ فَإِنْ مُتَّ مِنْ لَيْلَتِكَ فَأَنْتَ عَلَى الْفِطْرَةِ وَاجْعَلْهُنَّ آخِرَ مَا تَتَكَلَّمُ بِهِ Jika engkau mendatangi tempat tidurmu kemudian berwudhu sebagaimana wudhu dalam sholat kemudian berbaring pada sisi kanan kemudian berdoa: Allaahumma aslamtu wajhii ilaik wa fawwadltu amrii ilayk, wa alja’tu dzhohrii ilayk raghbatan wa rahbatan ilaik laa malja-a wa laa manjaa minka illaa ilayk. Allaahumma aamantu bi kitaabikalladzii anzalta wa bi nabiyyikalladzii arsalta. Jika engkau meninggal di malam itu, maka engkau mati dalam keadaan fitrah. Jadikanlah itu sebagai bacaan terakhir sebelum tidur (H.R al-Bukhari dan Muslim dari al-Bara’ bin Azib)